Nama: Siti sarini
Nim: 1002055177
Kelas: ilmu komunikasi B non reguler
Gelombang frekuensi merupakan salah satu sumber dimiliki negara yang
sangat potensial, namun bagaimana jika gelombang frekuensi tersebut di
kongolomerasi sejumlah pemilik modal yang mempunyai kepentingan tertentu
dan gelombang frekuensi tersebut
digunakan sebagai alat untuk mencapai kepentingan segelintir pemilik modal
tersebut?
Setelah era reformasi, konglomerasi menjadi corak industry media di
indonesia. Pola tersebut terus berkembang dan seolah dilanggengkan sebagai
sistem yang menjadi pedoman untuk menjalankan bisnis media di indonesia.
Ribuan media dengan
aneka format baik itu cetak, elektronik,
ataupun online yang diserap oleh seluruh rakyat indonesia setiap harinya hanya
dikendalikan oleh 12 group saja, dimana dari para pemiliknya masing-masing
memiliki kepentingan-kepentingan tersendiri yang kerap membanjiri
pemberitaan-pemeritaan di televisi maupun media lain yang mereka miliki.mereka
membuat berita dan memberitakan sesuai apa yang mereka inginkan
Frekuensi
sebagai kekayaan udara yang yang jarang
dibicarakan, di eksploitasi sedemikian rupa
oleh para pemilik media digunakan untuk kepentingan ekonomi dan politik
para pemiliknya tanpa memikirkan kepentingan publik.
Jika dulu pers
“ dibungkam” sekarang pers bisa dibeli mungkin itu sedikit ungkapan yang tersirat
dari film dokumenter “Di Balik Frekuensi”, bagaimana tidak ketika para jurnalis
dibungkam dan berita yang dibuat sesuai selera para pemilik media maka hal ini
sama saja seperti mata yang terbuka tapi tidak bisa melihat, melihat kebenaran
yang sebenarnya ada.
Seperti kasus
luviana seorang jurnalis metro tv yang mempertanyakan sistem manajemen yang tak
berpihak pada pada pekerja dan mengkritisi newsroom tiba-tiba saja di non job
kan lalu kemudian di PHK secara sepihak, lalu kemudian kasus heri suwandi korban
lumpur lapindo yang berjalan kaki hampir sebulan dari porong sidoarjo menuju
kejakarta untuk mencari keadilan namun tiba-tiba muncul di tv one untuk meminta
maaf kepada Abu rizal bakrie sebagai pemilik tv one, dengan melihat kasus
seperti ini media indonesia memang dalam keadaan “ sakit”.
Tidak bisa
dipungkiri bahwa ke independenan media patut dipertanyakan, sebab realita yang
terjadi saat ini bahwa media dibuat dan diberitakan sesuai dengan keinginan dan
kepentingan pemiliknya bukan lagi berdasarkan kepentingan publik. Kata
independen hanya retorika dan hanya teori saja, faktanya siapa yang kaya dia
yang berkuasa.
Jika dikaji
secara teoritis maka kasus seperti masuk dalam teori ekonomi politik media,
teori ini mengkaji kontrol elit dari institusi ekonomi seperti perbankan,
penyedia pasar dan kemudian mencoba menunjukkan kontrol tersebut ke berbagai
institusi sosila lainnya termasuk juga media massa, dimana para elit tersebut
mengharapkan media institusi ini dapat membentuk media sesuai dengan kepentingan
dan tujuan mereka.
Dari hal diatas
dapat kita simpulkan bahwa media itu ada karena adanyanya kepentingan
segelintir orang yang ingin mencapai tujuan tertentu,